Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.
Semua Pusat Kesehatan terbesar di dunia setuju bahwa merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, mulut, leher, pancreas, ginjal, kandung kemih, serta menjadi penyebab serangan jantung, stroke, tekanan darah tinggi, dan gangguan pembuluh darah. Juga sebagai penyebab penyakit paru-paru kronik seperti bronchitis dan pembengkakan paru-paru. Perokok lebih sering menderita batuk dan flu, infeksi paru-paru, radang usus, osteoporosis, impotensi dan kemandulan. Namun, para perokok tetap saja tidak peduli dan tetap tersenyum apabila diingatkan dengan ancaman yang setiap saat akan dapat menyiksanya dalam waktu lama, dan bahkan dapat merenggut nyawanya.
Menurut data dari National Health Education, Ministry of Health of Singapore, bahwa 90% kematian karena kanker paru-paru terjadi diantara perokok di Singapura. Penyebab utama kematian di Singapura adalah penyakit jantung. Hasil penelitian membuktikan, 40% kematian karena penyakit jantung sebelum umur 65 tahun berhubungan dengan rokok/perokok. Sementara Stroke menempati peringkat ketiga penyebab kematian di Singapura.
Lebih dari sepertiga penduduk Indonesia merokok. Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi ketiga negara perokok terbanyak di dunia setelah China dan India. Kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian pada 2007 tersebut menunjukkan rokok seolah telah menjadi bagian dari "gaya hidup" masyarakat. Lebih ironis lagi karena gaya hidup ini telah merambah usia muda, yakni remaja tanggung usia belasan.
Belum lama ini, Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KuIS), mengumumkan hasil studi terkini tentang perilaku merokok di kalangan remaja putri dan wanita muda di Indonesia. Riset ini meliputi survei terhadap 3.040 siswi SMP (usia 13-15 tahun) dan SMA (usia 16-19 tahun), serta mahasiswi (usia 20-25 tahun) di Jakarta dan Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif (dengan kuesioner) dan kualitatif (dengan focus group discussion/ FGD).
Sesuatu akan lebih mudah digapai bila ada peluang atau kesempatan. Demikian halnya keterpaparan terhadap rokok akan lebih tinggi jika lingkungan mendukung terhadap budaya merokok. Dari hasil FGD juga diketahui bahwa mayoritas mereka mulai merokok karena diajak teman. Biasanya mereka merokok di acara kumpul- kumpul atau saat nongkrong. Namun hal ini juga tergantung kelonggaran aturan dan kontrol di rumah dan lingkungan sekolah masing-masing
Fakta tentang kuatnya pengaruh lingkungan dalam menciptakan "budaya" merokok juga terungkap dalam sejumlah penelitian di luar negeri. Sebuah penelitian yang dilakukan Dr Alison B Albers dan timnya dari Boston University School of Public Health, Amerika, mengungkapkan, remaja yang tinggal dalam keluarga yang tanpa larangan merokok biasanya cenderung menganggap merokok sebagai hal lazim. Mereka juga lebih mudah menerima keberadaan perokok dewasa, tanpa merasa terganggu.
Temuan lainnya, remaja yang tinggal dengan keluarga yang tidak merokok dan tidak ada aturan larangan merokok cenderung lebih berani mencoba merokok di dalam rumah ketimbang mereka yang tinggal dalam keluarga yang menerapkan larangan merokok. Dengan kata lain, larangan merokok di dalam rumah dapat membantu remaja membangun sikap anti-merokok dan mencegah rasa ingin mencoba. Sebaliknya, apabila ada salah seorang anggota keluarga yang merokok, akan menjadi faktor penentu utama remaja menjadi perokok.
Larangan merokok dalam rumah dapat menurunkan kemungkinan remaja untuk mulai mencoba rokok, tapi hanya di dalam rumah yang tidak terdapat perokok . Larangan merokok dalam rumah sebagai kekuatan potensial dalam membentuk aturan anti-merokok.
Ketika DPR yang salah satu fungsi utamanya melahirkan undang-undang demi kemaslahatan publik justru menghadirkan undang-undang yang mematikan publik, itu adalah kejahatan yang amat fundamental. Sama dengan guru yang ternyata melakukan kejahatan pengajaran. Atau wasit yang mencurangi pertandingan. (Editorial Media Indonesia)
Jadi jangan heran, kenapa Rokok sampai sekarang sulit diberantas, jangankan rokok, Narkoba yang merupakan salah satu dampak dari kebiasaan merokok saat ini makin menggila. Melihat fakta ini, kita harusnya tidak melulu menyalahkan pemerintah, karena saya yakin pemerintah punya itikad baik untuk menghentikan peredaran RACUN YANG DILEGALKAN ini. Tidak hanya wakil rakyat, rakyat jelata sampai orang berada juga memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar karena mereka dengan sengaja akibat sudah kecanduan zat adiktif rokok yang tidak ada bedanya seperti orang kecanduan narkoba mengkampanyekan budaya merokok kepada generasi penerus bangsa
GAMBAR ORANG MEROKOK
Lingkaran Kemiskinan Para Pengisap Rokok
Sumber: http://kompas.com/kesehatan/news/0405/31/094609.htm
SYUKUR (50) menghirup rokoknya dalam-dalam. Petang itu, sate ayam
yang dijualnya masih 20 tusuk. Ia tinggal menunggu pembeli terakhir
datang ke sudut Pasar Palmerah, Jakarta Pusat, tempatnya mangkal setiap
malam.
"Saya sih ngrokok dari kecil. Kelas IV SD saja sudah ngantongi rokok," katanya. Maklumlah, ia datang dari keluarga pedagang tembakau. Di tempat Syukur dibesarkan di Bangkalan, Madura, contoh datang dari kakek, ayah, dan paman-pamannya yang mengisap rokok setiap hari. Kini ia merokok dua pak sehari. Rokok keluaran raksasa industri rokok Indonesia itu, harga sebungkusnya Rp 6.500. Penghasilan keluarga Syukur hanya dari berjualan sate. Setiap hari, dengan dibantu istrinya, ia memotong tiga ekor ayam, menyiapkan lontong, bumbu kacang, sampai arang berikut tetek bengek pembungkus satenya. "Ayam sekarang mahal, Rp 65.000 satu ekor. Buat modal aja bisa hampir Rp 300.000," papar Syukur.
Padahal, pendapatan kotornya tak tentu. Kadang Rp 300.000, kadang Rp 400.000. Untung tipis-dari sisa pendapatan dikurangi modal-itulah yang digunakan menghidupi istri dan keempat anaknya.
Bebannya sedikit berkurang manakala anak lelaki pertamanya-lulusan madrasah yang kini berumur 22 tahun-diterima bekerja di Manggala Wanabakti. Sayang, anak keduanya, juga laki-laki (20), baru keluar dari pekerjaannya. Beban tak jadi berkurang karena anak kedua ini kuat mengisap rokok. Anaknya yang terkecil berumur 9 tahun. Sedangkan satu-satunya anak perempuan, sekolah di SMEA. Pernah, anak itu butuh uang sekolah dan buku.
"Saya tak ada uang, jadi terpaksa minta saudara di kampung," tambahnya.
MASIH banyak yang serupa Syukur di Indonesia, mungkin dengan ekonomi lebih buruk. Ada tukang ojek, petani gurem, buruh bangunan, juga pengangguran. Dalam penelitian Poverty and Smoking oleh Martin Bobak dan kawan-kawan yang dipublikasikan Bank Dunia, memang disimpulkan bahwa merokok lebih sering ditemukan pada laki-laki miskin pada di berbagai negara di seluruh dunia. Kemiskinan ini secara bervariasi bisa dikelompokkan berdasarkan tingkat pendapatan, pendidikan, pekerjaan, maupun kelas sosialnya. Di Banglades misalnya, dalam hasil penelitian berjudul Hungry for Tobacco yang dipublikasikan PATH Canada bekerja sama dengan Work for a Better Bangladesh (Juli, 2000), disimpulkan memang tak pernah ada kata terlalu miskin untuk bisa merokok. Di Indonesia, seperti diungkapkan Puguh B Irawan MA PhD, peneliti bidang sosial dan ekonomi Badan Pusat Statistik maupun dalam seminar Rokok dan Kemiskinan, prevalensi merokok ditemukan paling tinggi di antara penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak sekolah dan tidak tamat SD (31,5 persen tahun 2003). Statistik Kesehatan 2001 juga menunjukkan, lebih banyak perokok ditemukan di pedesaan daripada di perkotaan. Masalah ini memicu lingkaran setan kemiskinan, karena biaya rokok ini menyedot lebih banyak anggaran rumah tangga dibanding untuk membiayai kesehatan dan pendidikan. Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas Drs Arum Atmawikarta, SKM, MPH. dalam seminar yang sama menyebutkan, dua sampai lebih dari empat pada 10 anak balita menderita gizi kurang di 72 persen kabupaten Indonesia. Data menunjukkan, pengeluaran untuk rokok memang lebih tinggi dibanding untuk membeli daging, susu, telur, dan buah. Apalagi untuk biaya kesehatan dan sekolah. Menteri Kesehatan Achmad Sujudi pernah mengakui, kondisi kesehatan anak Indonesia bahkan termasuk rendah di kelompok ASEAN. Padahal, semua ini terkait dengan pengembangan sumber daya manusia yang pintar dan kompetitif di masa depan. Anak-anak bergizi kurang, akan terseok-seok menghadapi persaingan. Tidak hanya dengan anak-anak yang beruntung dilahirkan oleh keluarga berpendidikan dan tidak memprioritaskan anggarannya untuk rokok, tetapi juga serbuan sumber daya global di dunia yang makin terbuka ini. Karena gizinya kurang, mereka juga tak mampu mengikuti pendidikan dengan baik. Akibatnya, anak-anak ini ketika dewasa tak mampu mengakses pekerjaan layak dan tak pernah bisa keluar dari jerat kemiskinan seperti orangtuanya. PEMERINTAH memang masih terbuai argumen klise industri rokok bahwa bila orang berhenti merokok maka begitu banyak pekerja pabrik rokok yang akan di- PHK. Mereka tak pernah menyebut, industri rokok makin banyak menggunakan mesin daripada tenaga manual. Prof dr FA Moeloek SpOG saat menjabat Menteri Kesehatan pernah menghitung, kerugian akibat merokok Rp 14,5 triliun atau delapan setengah kali pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan, sementara cukai dari tembakau hanya Rp 2,6 triliun. Karena itu, Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei, kembali mengingatkan keterkaitan rokok dan kemiskinan. Apakah mereka yang miskin akan terus dibiarkan terpuruk?
Sudah seharusnya upaya menghentikan kebiasaan merokok menjadi tugas dan tanggung jawab dari segenap lapisan masyarakat. Usaha penerangan dan penyuluhan, khususnya di kalangan generasi muda, dapat pula dikaitkan dengan usaha penanggulangan bahaya narkotika, usaha kesehatan sekolah, dan penyuluhan kesehatan masyarakat pada umumnya.
Tokoh-tokoh panutan masyarakat, termasuk para pejabat, pemimpin agama, guru, petugas kesehatan, artis, dan olahragawan, sudah sepatutnya menjadi teladan dengan tidak merokok.
Profesi kesehatan, terutama para dokter, berperan sangat penting dalam penyuluhan dan menjadi contoh bagi masyarakat. Perlu pula pembatasan kesempatan merokok di tempat-tempat umum, sekolah, kendaraan umum, dan tempat kerja. Pengaturan dan penertiban iklan promosi rokok; memasang peringatan kesehatan pada bungkus rokok dan iklan rokok.
Iklim tidak merokok harus diciptakan. Ini harus dilaksanakan serempak oleh kita semua, yang menginginkan tercapainya negara dan bangsa Indonesia yang sehat dan makmur.
Cara terbaik berhenti merokok ?
Tidak ada satupun cara terbaik, setiap metode bekerja secara berbeda untuk setiap orang. Satu hal menjadi persamaan semua mantan perokok adalah mereka sangat ingin untuk berhenti merokok. Perlukan tekad dan kemauan sangat keras untuk melawan racun nikotin. Berhenti merokok adalah upaya mengalahkan diri sendiri, kenapa anda tidak mencoba, demi diri sendiri, istri/suami dan keluarga serta anak-anak yang kita cintai dan sayangi. Hidup yang singkat ini jangan kita jalani dengan hidup tidak sehat. Selamat berusaha!!
Tuhan Sembilan Senti
(Memperingati Hari Kesehatan Nasional, 12 November 2009)
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.
Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.
Indonesia adalah semacam firdaus jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ... ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.
Di angkot penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis¬ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.
Indonesia adalah semacam firdaus jannatu-na'im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu'ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.
Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya.
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku' dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
By: Taufik Ismail...loh
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!