Pernah bertanya kenapa di jalanan banyak yang ngelanggar peraturan? Karena ga sabaran jadinya saling susul, macet dimana-dimana, ngomel-ngomel mulu, stress kan jadinya? Alasannya kira-kira apa? Gara-gara dulu pas sekolah nilai IPA nya kurang bagus? Atau nilai matematika nya kurang bagus? Atau nilai kewarganegaraan nya kurang bagus?
Pernah bertanya kenapa masih banyak yang suka nyontek kalo pas ujian? Pasti tau kan kalo itu dosa? Apa karena nilai pelajaran agama nya kurang bagus? Loh tapi kan kalo nyontek malah jadi bikin nilai bagus? Jadi apa dong?
Pernah bertanya kenapa ga sedikit orang yang keliatan biasa aja waktu buang sampah sembarangan? Bukannya jumlah yang buta huruf tuh minim yang di indonesia? Masa iya gabisa baca peringatan “jagalah kebersihan” ? atau pura-pura ga liat? Malahan kita yang liat Cuma bergerutu di hati aja, ga ngelakuin hal lain misalnya negur atau ngebuangin sampahnya, males ya?
Pernah bertanya kenapa banyak kasus pembullyan terjadi di sekolah-sekolah? Malahan berlanjut ampe usia lanjut? Perasaan iri sana-sini, jengkel, kesel kalo orang lain bahagia? Ngebandingin pencapaian hidup diri sendiri sama orang lain? Itu yang namanya kehidupan sosial? Loh bukannya udah diajarin di pelajaran sosiologi ya harus gimana? Katanya bagus nilai rapotnya udah di atas KKM? Atau pas KKM? Ya tetep bagus kan?
Pernah ga sih ngerasa sebagian atau seluruh dari contoh pertanyaan di atas terjadi di kehidupan kita? Atau ga pernah sadar kalo semua hal itu terjadi di sekitar kita? Atau baru sadar setelah baca barusan? Atau malah ga sadar-sadar? Ternyata contoh-contoh di atas Cuma sebagian kecil dari banyak konflik yang terjadi di sekitar kita. Kira-kira karena apa ya penyebabnya? Yuk bahas satu-satu.
Berdasarkan survei yang dilakukan Stop-Start Magnatec Castrol (dalam Thrillist, 2015) menyebutkan bahwa 3 kota dengan lalu lintas terbaik yakni Tampere di Finlandia, Rotterdam di belanda dan Bratislavia di slovakia. Kategori ini berdasarkan kualifikasi masyarakat pengguna jalan dengan tingkat pelanggaran lalu lintas terkecil. Menurut prof. Bana kartasasmita (2015) salah satu kunci seseorang tidak melanggar suatu peraturan itu yakni bukan hanya faham (knowing) tentang peraturan tersebut, tapi juga sabar dalam meakukannya (being). Salah satu kata kuncinya adalah sabar, sesuai dengan ayat alquran dalam surat Azzumar :10 yakni “sungguh akan dibayar upah (pahala) orang-orang yang sabar dengan tiada batas hitungan”.
Kalau kota yang anti nyontek di dunia berdasarkan Channel News Asia (2011) melansir yaitu Gifu di Jepang, Helsinki di Finlandia, dan Beijing di China. Di negara China dan Jepang memang sistem pengawasan saat ujian sangat ketat, namun di Finlandia peserta didik tidak menyontek karena mereka tidak dituntut untuk memperoleh nilai terbaik.
Sedangkan kota terbersih di dunia yaitu Calgary di Kanada, Tokyo di Jepang dan Helsinki di Finlandia. Hal tersebut karena selain masyarakat yang taat peraturan (knowing), juga kesadaran (being) untuk bersabar tidak membuang sampah secara sembarangan.
Adapun kota ter-minim bulyying di dunia yaitu Singapore di Singapore, Osaka di Jepang dan Helsinki di Finlandia. Kategori ini berdasarkan jumlah bullying yang sedikit dari waktu ke waktu.
Jika diperhatikan ternyata ada beberapa kota yang selalu masuk nominasi dalam kategori terbaik di atas yaitu kota-kota di Jepang dan kota-kota di Finlandia. Kira-kira apa yang bisa bikin kaya gitu sih? Kalau ditelaah lebih lanjut ternyata ada beberapa hal kecil namun bikin hal yang signifikan dalam sistem pendidikan di Jepang maupun Finlandia. Finlandia disebut-sebut sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia (CHANNEL NEWS ASIA, 2011). Menurut Syed Abdul Rahman Alsagoff (2011) memaparkan sistem pendidikan di sana yaitu :
- Tidak adanya akreditasi sekolah oleh pemerintah melalui standar tunggal yang bisa saja keliru dan malah di manipulasi, yang ada akreditasi oleh user sendiri yaitu masyarakat. Jadi orang tua masing-masing yang menilai apakah anaknya dididik dengan baik atau tidak, beretika dan cerdas atau malah sebaliknya.
- Tidak ada kurikulum tunggal yang ditetapkan pemerintah pusat, setiap sekolah diberikan kebebasan mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan potensi unggul daerahnya masing-masing.
- Tidak ada standar ujian negara, melainkan berbasis pada proses hasil pembelajaran dari hari ke hari dari masing-masing anak, tanpa dibandingkan melalui sistem rangking. Jadi tujuan pembelajaran adalah untuk menjadikan anak yang terbaik sesuai bidang yang diminati dan kemampuannya sendiri-sendiri bukan untuk mengejar peringkat dalam satu kelas atau satu sekolah.
- Tidak ada standar nasional kecukupan minimal untuk nilai masing-masing pelajaran, karena tiap anak memiliki kecepatan belajar yang berbeda-beda dan kemampuan berbeda untuk bidang pelajaran yang berbeda.
- Adanya standar nasional etika moral anak. Jadi setiap siswa wajib mendidik setiap murid mereka memenuhi standar etika moral nasional sebagai pondasi dasar membentuk bangsa yang kuat dan cerdas.
Jadi meskipun sekolah mereka memiliki kurikulum yang berbeda-beda dengan spesialisasi kecakapan bidang yang berbeda disesuaikan dengan potensi daerahnya masing-masing. Namun tiap sekolah harus bisa menjamin bahwa setiap muridnya memiliki etika moral yang luar biasa.
Guru Indonesia yang mengajar bahasa indonesia di jepang, Retno Puji Lestari, pada tahun 2015 pernah mengungkapkan pendapatnya mengenai pendidikan di indonesia serta dampaknya dalam kehidupan perorangan. Ibu guru ini mengemukakan bahwa kita terkadang tidak sadar ada hal yang membuat diri kita melakukan hal-hal yang negatif dalam kehidupan kita. Hal ini adalah dampak dari kebiasaan dalam pelaksanaan pendidikan kita. Misalnya orang yang berkendara ngebut di jalan, ini disebabkan dulu kita sering dituntut untuk menjadi orang yang tercepat bukan yang tersabar. Hal ini tentu saja sangat menampar semua unsur yang terlibat dalam pendidikan, termasuk guru sebagai eksekutor dalam proses pendidikan.
Pada kenyataannya memang benar bahwa tidak sedikit anggapan dan pelaksanaan pendidikan hanya sebatas untuk memperoleh nilai ujian dan nilai rapot semata. Akan tetapi mengenai proses nya sangat kurang diperhatikan. Selain itu memang benar adanya bahwa tidak sedikit siswa di tuntut untuk jadi yang tercepat, bukan jadi yang tersabar. Misalnya dalam hal latihan soal di kelas, terkadang siswa yang belum memahami materi di anggap sudah memahami materi dan malah di berikan label “bodoh”. Padahal menurut dosen pendidikan luar biasa UPI, Bapak Zaenal Alimin, M.Ed. (2016) memaparkan bahwa tidak ada anak yang bodoh, hanya saja tahapan berpikir menurut Piaget bagi mereka saja yang terlambat. Sehingga disitulah peran guru untuk menjadi jembatan para siswa menuju pengetahuan.
Hakikatnya pendidikan bukanlah untuk menjadi orang yang terhebat, tercepat ataupun terpintar (just knowing). Namun pendidikan adalah proses untuk menjadi pribadi yang sabar, kehidupan sosial yang tinggi, kejujuran, dan mampu untuk mempertahankannya sekalipun dalam kaum minoritas dimana kaum mayoritas menentang hal-hal tersebut (being). Indonesia saat ini sudah memiliki sepak terjang yang luar biasa, karena tidak mengutamakan nilai Ujian Nasional yang tinggi sebagai tolok ukur pencapaian keberhasilan pendidikan. Namun nilai kejujuran yang tinggi telah kita junjung karena mengutamakan kemampuan siswa seadanya dan menghargai kejujuran siswa, inilah pencapaian keberhasilan pendidikan Indonesia yang sesungguhnya.
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!