Euforia yang belakang marak beredar di dunia maya tentang ekspresi corat – coret dan konpi para siswa pasca selesai UN mendapatkan kecaman dan cacian dari berbagai lapisan masyarakat. Euphoria para siswa kelas XII ini merupakan sebuah bentuk ekpsresi kebebasan. Kebebasan dari Tugas, Ulangan, Ujian, KBM, Tata Tertib dan guru – guru killer. Sehingga selesainya UN merupakan sebuah pertanda berakhirnya penderitaan hidup seorang pelajar. Sehingga sangat wajar apabila mereka mengekspresikannya dengan prilaku yang berlebihan. Seolah-olah tantangan, kewajiban, hambatan, masalah, dan rintangan hidup tidak akan pernah ada lagi setelah UN ini selesai.
Namun dari sudut pandang penulis, fenomena tersebut merupakan sebuah kemunduran pola berpikir. Disaat era modern saat ini, saat Ujian nasional sudah menggunakan Computer Based Test sebagai bentuk menjawab kemajuan teknologi namun pola pemikiran tidak seiring dengan kemajuan jaman. Tengok saja, ketika generasi lulusan UN PBT dan UN CBT lulus dari sekolah menengah atas, mereka sudah dihadapkan pada persaingan yang sangat tinggi pada aspek kehidupan di tingkat nasional.
Pertama, pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 278,5 juta jiwa. Itu berarti akan terjadi peningkatan kebutuhan akan pangan, minum, lahan pemukiman, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lain. Sedangkan saat ini konversi lahan pertanian menjadi bangunan dan industry berjalan begitu pesat. Pada tahun 2014, menteri pertanian Suswono mengungkapkan bahwa rata-rata konversi lahan pertanian pertahun mencapai 100 Hektar. Apabila ini dibiarkan maka generasi ini ke depan akan mengalami krisis pangan yang sangat menghawatirkan. Bahkan menteri perdagangan republik Indonesia Thomas Lembong mengatakan bahwa pemerintah sulit menghindari impor untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Bahan pangan yang akan diimpor pada tahun 2016 antara lain adalah beras, daging sapi berupa sapi bakalan dan gula mentah. Dalam harian CNN disebutkan bahwa Indonesia merencanakan mengimpor sapi sebanyak700-800 ribu ekor, sementara gula mentah di atas tiga juta ton. Sementara untuk beras, ada kebutuhan impor lagi di luar impor 1,5 juta ton yang disepakati pada September 2015.
Kedua, realisasi MEA 2016. MEA merupakan suatu pola mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas atau free trade antara negara-negara anggota ASEAN. Sehingga para lulusan akan dihadapkan pada dampak aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas investasi, dampak arus tenaga kerja terampil, dan dampak arus bebas modal. Pertanyaannya apakah mereka sudah siap untuk ikut berpartisipasi dalam gelaran MEA 2016?. Dalam hemat penulis, ada minimalnya 5 hambatan yang harus dijawab oleh para generasi UNPBT dan UNCBT 2016 dalam rangka berpartisipasi di ajang MEA 2016. Satu, mutu pendidikan tenaga kerja masih rendah, dimana hingga Febuari 2014 jumlah pekerja berpendidikan SMP atau dibawahnya tercatat sebanyak 76,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari total 118 juta pekerja di Indonesia. Dua, ketersediaan dan kualitas infrastruktur masih kurang sehingga memengaruhi kelancaran arus barang dan jasa. Tiga, sektor industri yang rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi. Empat, keterbatasan pasokan energi. Lima, lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor, dan sekarang produk impor Tiongkok sudah membanjiri Indonesia.
Ketiga, Tingginya laju pertumbuhan penduduk dunia. Pada oktober 2011 jumlah penduduk dunia mencapai angka 7 miliiar jiwa dan terus bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang tidak pernah berhenti dan cenderung selalu naik dari waktu ke waktu. Apabila laju pertumbuhan penduduk ini relative konstan, maka jumlah penduduk pada tahun 2050 akan mencapai angka 9 milliar jiwa dan pada 2100 akan menembus angka 11 miliar jiwa. Hal ini tentunya menjadi sebuah polemic luar biasa yang memerlukan penanganan dan penyelesaian yang cepat. Meningkatnya jumlah penduduk maka akan meningkatkan aspek kehidupan yang lain juga, diantarannya meningkatnya kebutuhan akan pangan, meningkatnya kebutuhan akan lahan pemukiman, tingginya persaingan mendapatkan pekerjaan, tingginya persaingan mendapatkan pendidikan, dan meningkatnya kebutuhan akan air bersih. Hal itu pun akan seiring dengan meningkatnya kerusakan lingkungan.
Meningkatnya kebutuhan pangan merupakan salah satu indikator yang harus diantisipasi ketika jumlah penduduk meningkat. Thomas Malthus pernah berbicara bahwa pada abad ke 20 dunia akan mengalami krisis pangan, hal itu dikarenakan laju pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur dan pertumbuhan pangan akan mengikuti deret hitung. Tentunya tidak ada keseimbangan antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan pangan apalagi saat ini laju konversi lahan terus meningkat. Mantan Menteri kehutanan RI, Zulkifli hasan pernah berbicara pada kuliah umum di universitas Samratulangi menyebutkan bahwa biokapasitas yang diperlukan manusia saat ini adalah 1,5 planet bumi dan akan menjadi 2 kali planet bumi pada tahun 2050.
Tidak lepas dari itu saat ini sebanyak 4 miliar penduduk dunia mengalami kekurangan air bersih, hal itu tidak mengherankan karena beberapa factor. Pertama, saat ini sumber air tawar terbesar di dunia yakni daerah kutub utara dan selatan terus mengalami penyusutan. Kedua, kebiasaan konsumsi masyarakat yang masih tetap tinggi. Ketiga, salah satu sumber air bersih di dunia, yakni sungai di jadikan sebagai tempat pembuangan sampah, baik sampah rumah tangga atau limbah industry. Menurut laporan dari bank dunia yang termuat di dalam national geography edisi april 2014 menyebutkan bahwa hampir 1 milliar penduduk dunia buang air di sungai, dan 2,5 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap jamban.
Dampak lainnya adalah semakin besarnya persaingan mendapatkan lapangan pekerjaan. Pada oktober 2010, national geography Indonesia menyebutkan bahwa diseluruh dunia terdapat 215 juta pekerja anak yang bekerja di berbagai bidang di dunia. Hal ini cukup mengejutkan, artinya pada 2010 pekerja anak hampir 3,5% dari total populasi dunia. Hal itu mereka lakukan tak lain hanya untuk bertahan hidup. Lalu, sudah siapkan anak-anak kita?kompetensi apa yang sudah mereka miliki?
Tentunya itu hanya sebagian dari pola permasalahan, tantangan, dan hambatan yang akan dihadapi oleh para generasi UN CBT dan PBT pada tahun 2020 yang akan datang. Untuk itu, perlu rasanya untuk dipikirkan dengan lebih bijak. Semoga generasi UN CBT dan PBT ini mampu menyelesaikan tantangan yang akan dihadapi dan mampu menjadi perubah dunia.
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!