“Human and Environment Relationship Theories”
Mensikapi Fenomena Perang Sumberdaya dan Energi
Beberapa teori tentang Hubungan Manusia denga Lingkungan menjadi bahan kajian yang menarik. Terbukti kajian tentang hubungan manusia dengan lingkungannya telah melintasi beberapa abad pengkajian.
Bencana yang diciptakan oleh pemahaman, sikap dan perilaku manusia yang slah terhadap lingkungannya saat ini telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Kehawatiran-kekhawatiran yang yang timbul pun terpolarisasi pada dua kutub yang saling berhadapan yang menjadi pengamatan yang juga menarik pihak-pihak yang tidak berhadapan tertarik pada dua kepentingan kutub tersebut.
Tentu saja, bukan kutub utara atau kutub sselatan, bahkan bukan pula kutub-kutub kekuatan persenjataan yang diwariskan perang dingin antara blok barat dan timur.
Kutub-kutub yang dimaksud adalah dua kutub negara-negara maju dengan negara berkembang berkenaan dengan pemanasan global.
Pemanasan gobal, global warming, maupun global freezing (pembekuan global) yang sejatinya merupakan siklus alamiah tekah disadari bersama bergeser dengan cepat, dipersingkat oleh perilaku manusia sebagai makhluk yang berbudaya, dinamis dan sangat genit.
Eksploitasi alam menjadi senjata utama penyelamatan beberapa generasi yang cenderung Natio centris, bukan untuk kesejahteraan manusia secara keseluruhan.
Dikutub yang satu, negara-negara maju gencar mengkampanyekan kekhawatiran beberapa negara berkembang, seperti halnya, Peru Brazilia dan indonesia, pemilik hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia, semakin tak mampu menjaga hutannya ini dari fenomena kebakaran hutan. Kelemahan regulasi mulai dari perencanaan beserta pelaksanaanya dianggap sangat lemah, terutama jika menukik pada hal terpenting, yakni pengawasan yang memerlukan keberanian dalam menegakkan supremasi hukum dan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan tadi.
Dengan mudahnya negara-negara yang baru melek dan berjalan menuju percepatan industri dan tak mampu mensinergikan dengan kelayakan regulasinya mendapatkan tekanan-tekanan politis yang cukup kuat, sehingga mau tidak mau harus mulai belajar menformulasi pembangunannya melalui hal yang sangat penting, yakni pembelangunan berkelanjutan yang dijalankan dalam bentuk kegiatan pembangunan yang bersifat eco-efisiensi.
Sebaliknya dikutub yang satunya lagi, negara-negara berkembang pemilik paru-paru dunia pun mengamini setengah hati tuntutan dari negara-negra maju, berkenaan dengan fenomena kebakaran hutan dengan menyebutnya sebagai politik lempar batu sembunyi tangan.
Bagaimana tidak, berdasarkan data-data pengawasan satelit atas lapisan troposfer yang menjadilokasi gejala cuaca dan juga lapisan stratosfer yang menjadi lokasi konsentrasi ozon menunjukkan keterlibatan negara-negara maju sebagai konstributor terbanayak atas terciptanaya gas rumah kaca yang menggantikan posisi ozone di startosfer, bahkan beberapa ilmuwan menyebutnya sebagai selimut bumi yang bolong.
Aktifitas industri yangbeberapa dekade kebelakang masih didominasi negara-negara maju telah menyisakan derita bumi atas terciptanya gas rumah kaca yang meninggalkan Karbon dioksida serta Clhoro Flouro Carbon di strtosfer lebih mendominasi, dibandingkan gas methan yang dihasilkan dari kebakaran hutan yang dituduhkan pada negara-negara berkembang selama ini.
Terlepas dari polemik dianatara dua kepentingan kutub tersebut anatara percepatan pembangunan dan pelestarian paru-paru bumi, bebrapa ahli pun muncul di Indonesi mengkampanyekan pentingnya pemahaman tentang Pembangunan Berkelanjutan, diantaranya Prof. DR. Emil Salim dan Prof Otto Soemarwoto yang begitu giata menyusun buku dan tampil dalam seminar, bahkan menjadi bagian dari pemerintarah Republik ini agar pesan Pembangunan Berkelanjuta sampai pada semua lapisan masyrarakat Inonesia.
Pemahaman konsep, penanaman sikap serta pembiasaan berperilaku ramah lingkumgan menjadi hal penting bagi semua penduduk bumi ini, termasuk bangsa kita.
Pemahaman yang tidak menjadi salah kaprah, sehingga lupa bahwa kebanyakan kita begitu tergantung denga kendaraan bermotor, pemakaian Ac dan juga konsumsi terhadap berbagai jenis spray yang semakin tak tertahankan peningkatannya.
Bebrapa hal mendasar tentang konsep-konsep ekosistem mulai harus dipelajari secara filosofis, walaupun pelaksanaan dilapanga tentang bentuknya, seperti proses-proses recycle, Refusw, Reuse telah diajarkan secara bertahap dipersekolahan yang menjadi indikator-indikator penilaian Sekolah Adiwiyata.Landasan historis tentang perkembangan Human and Environment Relationship Theories harus semakin digaungkan.
Sehingga masyarakat, khususnya masayrakat persekolahan memahami ruh dan konsep secara sinergi berdasarkan pengalaman belajar yang mengambil hikmah daripolemik yang pernah terjadi sebelumnya.
Polemik perbedaan sikap pandang manusia semenjak Teori Determinismenya Fredrich Ratzel yanag diperkuat oleh Elswoth Huntington tentang climate Determinis yang terakumulasi oleh teori posibilisme yang dianggap lebih ramah lingkungan harus dipelajari sebagaibekal awal mencari jawaban atas bencana yang ditimbulkan oleh scara pandang yang salah dari manusia terhadap lingkungannya.
Determinis/determinisme adalah teori yang mengungkapakan bahwa alam (fisik) bumi yang menentukan kehidupan manusia.. Dikemukakan oleh Fredrich Ratzel.
Determinisme lingkungan, juga dikenal sebagai determinisme iklim atau determinisme geografi, adalah pandangan bahwa lingkungan fisik, bukannya kondisi sosial, yang menentukan kebudayaan. Penganut pandangan ini mengatakan bahwa manusia ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon (hubungan lingkungan-perilaku) dan tidak bisa menyimpang dari hal itu.
Argumen dasar dari penganut determinisme lingkungan adalah bahwa aspek dari geografi fisik, khususnya iklim, memengaruhi pemikiran individu, yang pada gilirannya akan menentukan perilaku dan budaya yang dibangun oleh individu tersebut. Sebagai contoh, iklim tropis dikatakan menyebabkan kemalasan dan sikap santai, sementara seringnya perubahan cuaca di daerah sub-tropis cenderung membuat etos kerja yang lebih bersemangat. Karena pengaruh lingkungan ini secara lambat laun memengaruhi kondisi biologis manusia, maka perlu untuk merunut migrasi dari kelompok untuk melihat kondisi lingkungan tempat mereka berevolusi. Pendukung utama pendapat ini di antaranya Ellen Churchill Semple, Ellsworth Huntington, Thomas Griffith Taylor dan mungkin pula Jared Diamond, walau statusnya sebagai pendukung determinisme lingkungan masih diperdebatkan.
Teori Posibilisme berpandangan Bumi tidak menentukan perilaku manusia, bumi hanya menyediakan berbagai Manusia memiliki keterbatasan. Pilihan manusia dalam memanfaatkan kemungkinannya, perilaku manusia ditentukan dari pilhan manusia itu lingkungan masih tergantung dari sistem nilai masyarakatnya maupun budayanya sendiri.
TOKOH POSIBILISME Paul Vidal de la Blache (1854-1918) • Vidal adalah geograf asal Prancis. Ia adalah pelopor posibilisme dalam geografi. Posibilisme (teori kemungkinan) muncul setelah Vidal melakukan penelitian untuk membuktikan interaksi yang sangat erat antara manusia dan lingkungan pada masyarakat agraris pramodern. • Ia menegaskan bahwa lingkungan menawarkan sejumlah kemungkinan (posibilities) kepada manusia untuk hidup dan berkembang. Atas dasar itu, Vidal mengemukakan konsepnya yang disebut genre de vie atau mode of live (cara hidup). Dalam konsep ini, geografi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana proses produksi dilakukan manusia terhadap kemungkinan yang ditawarkan oleh lingkungan.
Sebagai kata kunci yang harus menjadi penegasan pada pembelajaran tentang Hububungan manusia dengan lingkungannya dalah pengingkaran terhadap sikap dan perilaku Antropho centris yang sangat eksploitatif.
Eksploitatif, karena dipengaruhi oleh isu perangan abad ini, yakni Isu Perang Sumber daya, pangan dan Energi.
Semoga Tuhan melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang mahir memberikn arahan dan keteladanan kepada masyarakat tentang pentingnya kita bermesraan dengan lingkungan sekitar kita.
Aamiin Wassalaam.
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!