Semakin hari bumi ini semakin tua, sudah lebih dari 4,5 milyar tahun bumi ini telah menjalankan fungsinya sebagai geosfer kehidupan. Selama itu pula bumi dan alam yang dimilikinya terus mendukung keberlangsungan hidup para penghuninya, baik tumbuhan, hewan, maupun manusia. Namun, sepanjang sejarah bumi, manusia memainkan peran penting dalam menentukan kelestarian dan kerusakan lingkungan alam di bumi. Perkembangan manusia yang kian tak terbendung telah menimbulkan berbagai macam persoalan yang kompleks. Berdasarkan laporan National Geography edisi Oktober tahun 2010 menyebutkan bahwa jumlah populasi manusia yang ada di bumi per Oktober tahun 2010 genap mencapai 7 milyar jiwa bahkan laporan terakhir PBB menyebutkan bahwa jumlah penduduk ini akan terus bertambah menjadi 9,3 milyar jiwa pada tahun 2050. Efek domino yang ditimbulkan dari peningkatan jumlah penduduk ini adalah terjadinya peningkatan kebutuhan lahan dan kebutuhan pangan, dan bahkan cenderung akan bersifat linier dengan kerusakan lingkungan alam. Bagaimana tidak, ketika jumlah lahan pemukiman yang ada di dunia ini tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan akan lahan pemukiman dan lahan bercocok tanam, maka masyarakat akan lari ke hutan. Dengan melakukan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan terbuka (konversi lahan) maka akan berdampak pada terganggunya keseimbangan alam dan fungsi hutan, seperti orologis, hidrologis, ekonomis, klimatologis dan strategis. Hal senada juga dikemukakan oleh Lutfi Fauziah dalam majalah National geography edisi september 2015 yang menyebutkan bahwa manusia di bumi ini, setiap tahunnya menebang 15 miliar pohon dan jumlah pohon yang ada di dunia telah menyusut hingga 46% sejak awal peradaban manusia. Bahkan disebutkan bahwa pepohonan di daerah tropis “dibersihkan” untuk lahan pertanian dan tujuan komersial lainnya. Hal itu semakin menjelaskan bahwa pertambahan manusia telah berdampak terhadap peningkatan kerusakan lingkungan.
Saat ini, kerusakan lingkungan merupakan salah satu dari 10 ancaman yang secara resmi diperingatkan oleh High Level Threat Panel dari PBB. Pada tanggal 1 Mei 1998, The World Resources Institute (WRI), United Nations Environment Programe (UNEP), United Nations Development (UNDP), dan Bank Dunia telah melaporkan tentang pentingnya lingkungan dan kaitannya dengan kesehatan manusia. Banyak Negara di dunia merasakan kekhawatiran tentang keadaan lingkungan saat ini.
Hal ini terbukti dengan adanya berbagai konferensi yang dimulai sejak tahun 1972, yang terjadi di Kota Stockholm, Swedia, yang lebih dikenal dengan konferensi Harlem Bruntland, yang bertujuan untuk merubah paradigma masyarakat tentang konsep Sustainable Development. Konsep ini berbicara tentang upaya memenuhi kebutuhan di masa sekarang tanpa mengesampingkan kebutuhan di masa yang akan datang. Tapi pada kenyataannya saat ini masih banyak Negara yang mengabaikan konsep pembangunan yang berkelanjutan tersebut dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi sumber daya yang dimilikinya.
Hingga kejadian buruk pun pernah melanda Kota Stockholm, Swedia. Dimana di kota tersebut terjadi wabah kolera yang sangat besar, yang diakibatkan sistem tata kelola lingkungan yang kurang baik yang mengakibatkan setengah dari jumlah penduduknya meninggal. Akan tetapi dikemudian hari Stockholm berhasil bangkit dengan memperoleh gelar sebagai salah satu kota terbaik di dunia yang memiliki sistem sanitasi dan mitigasi terbersih. Apakah Indonesia harus mengalami bencana terlebih dahulu? Agar kemudian bisa sadar dan peduli terhadap lingkungan alamnya.
Di usia negara yang semakin dewasa ini, alih-alih makin subur makmur gemah ripah loh jinawi kerta raharja aman sentosa, justru rakyat dan lingkungan makin sengsara. Eksploitasi sumber daya lingkungan tidak lagi mengindahkan daya dukung lingkungan itu sendiri. Lebih tragisnya hal itu terjadi dalam skala besar – besaran disetiap jengkal tanah di penjuru bumi pertiwi ini dengan dalih “Investasi”. Namun pada kenyataan keindahan alam dan seluruh potensi lingkungan yang dimiliki negeri 13.446 Pulau ini sudah tidak tampak lagi karena tergerus oleh “keserakahan” orang-orang berkantong tebal yang mengedepankan “Profit” dan berlindung dibalik “program pembangunan”.
Coba sejenak kita pikirkan dan cermati baik – baik data berikut ini. Laju degradasi dan deforestasi hutan setiap tahunnya semakin meningkat, bahkan laju konversi lahan produktif menjadi pemukiman dan lahan tidak produktif pun dengan latar belakang berbagai macam kepentingan dan kebutuhan pun kian cepat tanpa bisa terbendung. Berdasarkan data yang di rilis oleh Forest Watch Indonesia laju deforestasi dan degradasi hutan setiap tahunnya mencapai 1,3 juta hektar pertahun, sebagian terjadi di wilayah konservasi dan hutan lindung. Tidak hanya itu, menurut Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia tahun 2011 menyebutkan luas lahan kritis di Indonesia mencapai 27,2 juta ha. Hal tersebut tentu menjadi kekhawatiran tersendiri untuk kita. Green peace dalam laporannya menyebutkan, maraknya kerusakan hutan bertanggung jawab atas seperlima emisi gas rumah kaca di bumi, yang ternyata lebih banyak dari akumulasi emisi dari pesawat, mobil, dan kereta di seluruh dunia. Tidak hanya itu, World Resources Institute dalam laporan tentang WORLDWIDE EMITTERS OF CARBON DIOXIDE AS OF 2011 menyebutkan bahwa indonesia adalah negera ke 6 penghasil karbondioksida terbesar di dunia.
Permasalahan yang terjadi seperti global warming dan permasalahan lingkungan lainnya juga diakibatkan oleh aktivitas industri kapitalis modern yang tidak lestari, industri kapitalis yang semakin lahap memakan industri-industri kecil di bawahnya. Persaingan yang terjadi antar industri kapitalis mengharuskan mereka untuk mengembangkan peralatan dan teknologi yang semakin tidak ramah lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan bukan lagi ancaman di ambang pintu, tetapi sudah menjadi kenyataan. Kapitalisme memang menciptakan kelimpahruahan materi, tetapi di balik kelimpahruahan tersebut ada beban berat yang dipikul oleh bumi, yaitu kerusakan ekologis, yang dalam jangka panjang menggiring kepada kehancuran ekologis, dan akhirnya kehancuran manusia itu sendiri.
Salah satu efek domino dari rusaknya lingkungan, berdampak pada ketahanan pangan dunia. Minimnya cadangan pangan dunia berpotensi menyebabkan krisis pangan di beberapa kawasan yang sebagian besar berada di kawasan Asia Selatan dan beberapa Negara di Asia Timur serta salah satu Negara di Asia Tenggara dan Amerika Latin, termasuk Indonesia yang juga beresiko mengalami krisis pangan sedang (United Nations World Food Programme 2008). Semakin menurunnya produksi pangan di akibatkan oleh menurunnya jumlah lahan garapan petani, yang diakibatkan oleh aktivitas industri kapitalis modern dan perubahan iklim global yang kemudian mengurangi daya dukung lingkungan.
Lahan-lahan tanah yang terbuka, kini telah berubah menjadi hamparan beton dan gedung-gedung pecakar langit, petani kita semakin terkecik di tengah slogan negara kita sebagai Negara Agraris. Maka wajar jika kita negara agraris tapi mengalami krisis pangan. Produksi bahan pangan mengalami penurunan laporan dari The International Food Policy Research Institute menunjukan bahwa produksi dan konsumsi pangan regional dan internasional ini dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu, pertumbuhan ekonomi dan kebijakan ekonomi, pertumbuhan pupolasi dan urbanisasi, infrastruktur di pedesaan, serta manajemen penggunaan sumber daya alam dan pertimbangan ekologi lingkungan.
Dari lima pulau terbesar yang dimiliki Indonesia, Jawa berpotensi untuk menciptakan keadaan dimana sektor hutan dan pertanian bisa dilakukan sekaligus, tanpa merusak ekologi, yaitu dengan menggunakan sistem huma. Huma adalah model menanam padi di ladang. Ini adalah cara tertua yang merupakan sebuah potensi kearifan lokal yang dimiliki Indonesia untuk menjaga daya dukung lingkungan dan keseimbangan alam. Di Indonesia, bercocok tanam padi dengan menggunakan sistem huma masih banyak ditemukan, salah satunya adalah di wilayah masyarakat kampung adat di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak, seperti masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Gelar, Cipta Mulya, Cisungsang, bahkan masyarakat Baduy. Model huma memang sangat cocok dikembangkan di daerah ini, mengingat karakteristik wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan kawasan berbukit, sebagaimana karakteristik topografi bagian tengah dan selatan Jawa bagian barat. Masyarakat di sana sangat mengedepankan pemahaman bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara lingkungan khususnya hutan dengan manusia yang mengelolanya. Pemahaman tersebut tercermin dalam kearifan lokal yang telah dijalankan secara turun temurun yang berasal dari kebijaksanaan karuhun atau nenek moyang.
Dari sini lah kita harus mampu berkaca dengan keadaan lingkungan kita sekarang. Ditengah banyaknya populasi manusia dengan sumber daya alam yang sudah menipis, Masyarakat adat memiliki cara alternatif untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan, dengan cara sistem pola tanam serentak. Walapun panen hanya satu tahun sekali, nyatanya hasil panen ini bisa mencukupi kebutuhan mereka kurang lebih selama dua tahun. Tidak menyangkal adanya musim paceklik, mereka sepakat untuk menyisihkan dua ikat padi untuk diserahkan ke pada sesepuh girang sebagai tatali panen, padi itu biasanya akan disimpan di lumbung komunal, salah satunya yaitu Lumbung leuit Si Jimat, leuit ini tempat penyimpanan indung pare (Bibit Padi) .
Kualitas padi yang di hasilkan sangatlah bagus, ini terbukti padi yang mereka simpan di dalam leuit selama berpuluh-puluh tahun (bahkan ada yang berusia 20 tahun), rasa dan kualitasnya sama seperti padi yang baru di panen, kemudian padi tersebut tidak dihinggapi kutu padi, kita bisa bandingkan dengan padi yang di simpan di dalam alat penampung beras modern (Rice box), ketahanan dan kualitas padi menurun walaupun hanya di simpan dalam kurun waktu yang singkat. Hal tersebut di akibatkan kualitas padi yang buruk. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ?
Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pengolahan lahan pertanian antara masyarakat modern dan masyarakat adat. Di dalam kasepuhan waktu panen hanya satu kali dalam satu tahun, berdasarkan sebuah kajian biologi yang penulis baca, dijelaskan bahwa penggarapan tanah pertanian selama satu kali dalam setahun dapat memberikan waktu kepada tanah untuk melakukan regenerasi unsur hara. Tidak hanya itu, pola pertanian di wilayah ini pun menghindari penggunaan pupuk berbahan kimia, dan penggunaan traktor dalam proses penggarapan lahan pertanian, ini mengindikasikan bahwa pengolahan tanah secara alami dapat mengahasilkan padi yang berkualitas. Selain itu, masyarakat dikasepuhan sinar resmi memiliki 68 jenis padi lokal, bahkan beberapa diantaranya sudah dibawa ke Jepang untuk dilakukan penelitian.
Untuk menunjang keberlangsungan pertanian sebagai upaya pemenuhan pangan masyarakat kasepuhan sinar resmi, maka aspek konservasi lingkungan pun menjadi sebuah keharusan yang terus dijaga. Teknik konservasi yang dimaksud adalah sistem pembagian hutan. Tujuannya jelas yaitu untuk menjaga kestabilan dan harmonisasi lingkungan. Alokasi luas hutan di kasepuhan Sinar resmi dibagi menjadi 3, yaitu :
- Hutan Tutupan yaitu hutan yang boleh di garap tapi harus ada izin dari pemangku adat. Hutan ini hanya dimanfaatkan untuk keperluan membangun rumah. Hutan ini tidak boleh di buka apabila hutan garapan masih ada.
- Hutan Garapan yaitu hutan yang menjadi mata pencaharian mereka sehari – hari, yaitu berupa pesawahanan, ladang, dan kebun. Hutan ini boleh digarap oleh siapapun asalkan ada kemauan. tidak dibatasi luasan lahan yang boleh di garap hanya saja tidak boleh memiliki tanah tersebut secara individu.
- Hutan Titipan adalah hutan yang tidak boleh dimasuki atau hutan larangan. Hutan ini tidak boleh disentuh atau tidak boleh dimasuki oleh warga masyarakat adat kasepuhan. Hutan ini dikeramatkan dan penggunaannya dimungkinkan apabila telah diterima semacam wangsit atau ilapat dari nenek moyang. Secara akademis, pengkeramatan ini dimaksudkan untuk menjaga sumber mata air di wilayah ini.
Konsep yang penulis tawarkan di atas, dengan seperti itu kita dapat memperoleh hasil hutan ataupun pertanian kita dengan optimal dan berkelanjutan, sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan masyarakat Indonesia, tanpa menimbulkan efek samping yang besar terhadap kehidupan kita sebagai manusia ataupun unsur lingkungan seperti, hutan, tanaman, dan unsur abiotik. Dari semua paparan di atas maka penulis mengambil kesimpulan, tanpa berharap semua kota di Indonesia menjadi suku adat, tapi sangat di harapkan apabila metode yang mereka gunakan menjadi model pembangunan pertanian ataupun pengolahan hutan yang baik dan berkelanjutan dengan meng-‘’huma’’niskan alam dan lingkungan kita, artinya kita harus menjadikan hutan dan alam seperti rumah atau dalam bahasa mereka ‘’Huma’’ Kita harus menyayangi hutan kita atau memanusiakannya (humanisasi), jika seperi itu maka hutan akan kita jaga, sebagaimana kita menjaga saudara kita, sesama umat manusia.
Pembangunan sektor industri memang sangat penting untuk dilakukan, tetapi kita tidak bisa mengesampingkan daya dukung lingkungan, kita tidak bisa hanya mengedepankan sektor ekonominya saja, akan tetapi kita harus melihat dua aspek lainnya yang sangat penting yaitu biologi dan ekologi, yang harus kita jaga agar generasi kedepannya dapat menikmati kekayaan alam Indonesia. Lupakan kepentingan kelompok apapun, kita sudah saatnya berkaca kepada masyarkat adat, mereka menganggap segala unsur yang ada di dalam hutan, bagaikan ibu yang menyusi mereka, sehingga hutan harus dijaga dan tidak boleh disakiti, stop semua pembalakan hutan, stop semua eksploitasi yang berlebihan, sudah saatnya kita fokus terhadap pembangunan dunia yang lebih baik.
0 Komentar
Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!